Jakarta dan Cinta

Jakarta, tempat raga ini lahir dan menetap.

Jakarta.

Kota penuh kata. Kata lembut dari seorang ibu yang mendoakan bayinya yang sedang ditimang untuk tumbuh berkembang dengan penuh kasih sayang. Kata semangat untuk membangkitkan seorang teman yang sedang terpuruk karena kehilangan pekerjaan. Kata makian dari seorang ayah yang melihat nilai rapor anaknya berwarna merah semua. Kata bualan dari lelaki yang sedang mendekati seorang wanita polos yang tak tahu bahwa ia sedang masuk perangkap.

Kota penuh cerita. Cerita orang yang kecopetan saat naik Metromini dari Terminal Blok M ke Halte Al-Azhar. Cerita pemuda yang masih kosong kantongnya setelah mengamen di sepanjang Jalan Sisingamangaraja seharian. Cerita anak yang patah kakinya saat belajar mengendarai sepedanya di jalan sekitar kompleksnya. Cerita orang yang lembur di perusahaan bergedung pencakar langit di Jalan M. H. Thamrin dan sedang memikirkan kapan ia akan mencurahkan kasih sayang bagi keluarganya, walaupun yang ia lakukan sekarang adalah mencari nafkah demi darah dagingnya.

Kota penuh makna. Makna perjuangan Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari tangan Portugis. Makna pahlawan-pahlawan pergerakan yang tak terhitung jumlahnya berdarah-darah menegakkan Indonesia di mata dunia. Makna patung Sudirman yang tetap menghormat tak peduli apa terjadi.

Kota penuh derita. Derita pedagang yang berpeluh naik bus kota untuk menjajakan cangcimen yang tak kunjung laku karena rakyat beralih ke makanan kemasan yang berlumur MSG. Derita pemuda lulusan SMA yang lontang-lantung sana sini wawancara pekerjaan tanpa mendapatkan hasil karena kalah saing dengan lulusan S1. Derita anak yang putus sekolah dan mau putus sekolah untuk merawat ibunya yang sakit keras -- di samping keterbatasan ekonomi.

Kota penuh.. cinta? Bullsh*t.

Ini yang benar: Jakarta itu kota penuh kekejaman. Darah Jakarta adalah tragedi dan ironi.

Walaupun berjas modern dan mentereng, daleman Jakarta sudah compang-camping. Badannya luka sana-sini, yang makin perih kena asin keringat jutaan orang yang berusaha bertahan hidup di antara arus deras Jakarta yang tak pernah mengasihani warganya yang kepayahan.


Jakarta penuh kemacatan yang menghambat produktivitas warganya, yang seharusnya sudah bisa makan siang tapi masih bertahan di satu titik lampu merah selama setengah jam.

Jakarta tak terurus. Tak terurus oleh warganya yang membuang sampah ke Kali Ciliwung yang sudah cokelat, lalu bertambah pekat.


Kota ini tak pernah berhenti bergerak, ke arah tak tertebak, yang selalu kita bilang maju - padahal belum tentu.

Mungkin rangkuman paragraf di atas: Jakarta itu bobrok. Rusak.

Tapi, maukah kita memberi diri kita jeda untuk menyimak seksama?

Bahwa di balik tak teraturnya Jakarta, pemerintah selalu punya masalah untuk diselesaikan, yang berarti kita akan selalu punya ruang untuk berkembang.

Bahwa di balik sesaknya Jakarta, bersyukurlah bahwa kota ini tak mati digerus masa. Kota ini masih ada dengan jutaan orang yang mendesak masuk, menemani hidup kita yang pasti hampa tanpa tetangga.

Bahwa di balik kejamnya Jakarta, kita terbiasa ditumbuk oleh tekanan kehidupan yang dinamakan tantangan. Ralat. Kita hidup  dalam tantangan. Dan tantangan hidup dalam diri kita.

Kelak, saat kita nanti berkelana, kita akan menaklukkan kota-kota dunia karena kita terbentuk oleh kekejaman Jakarta.

Bahwa di balik sibuknya Jakarta, Jakarta menyisakan nol waktu untuk kita siakan. Tiap detiknya berharga.

Bahwa di balik tingkat kriminalnya, kejahatan yang selalu mengintai memaksa kita berhati-hati - dan pakai hati. Pakai intuisi. Bayangkan insting kita mati karena selamanya hidup di kota penuh kedamaian, tak pernah menyangka marabahaya muncul kapan.

Bahwa di balik miskinnya Jakarta, kita selalu punya harapan untuk kaya; juga kaya akan harapan. Dan harapan terkadang lebih dibutuhkan daripada perwujudan harapan itu sendiri.


Bahwa di balik kemacatan Jakarta, kita bisa tahu hal-hal dari teman berkendara kita yang tiada orang lain tahu. Awalnya hambatan lalu lintas yang terasa memakan hidup, yang berlanjut dengan obrolan asyik, panjang dan mendalam dan diakhiri dengan kalimat "kita ngobrol lagi ya, kapan-kapan!".


Bahwa Jakarta memang bukan kota penuh cinta..
Tapi, di sela-sela kesibukan pekerja kantoran yang bekerja nine to five, dia mencuri waktu untuk menelepon istrinya dan sekedar bertanya "Sudah makan, Sayang?".
Di gang-gang tempat preman bermain capsa, salah satu dari mereka membatin "Anak gue di sekolah lagi ngapain, ya?".
Dan di tengah kekumuhan dan kemiskinan, cinta tumbuh begitu besar untuk mengorbankan diri demi orang terkasih, yang dinyatakan dengan "Mama ngga laper, kamu dulu aja." dan itu baru salah satunya.


Pernahkah kita berterima kasih?

Bahwa kita tinggal di Jakarta yang panas, sehingga kita tidak perlu menyewa mobil pengeruk salju hanya untuk berjalan 1 komplek ke minimarket.

Bahwa kita tinggal di Jakarta yang bermasalah, sehingga kita selalu mencari solusi dari tiap isu daripada diam saja tak berurgensi.

Bahwa kita tinggal di Jakarta yang penuh ketidakteraturan, sehingga diri kita terbiasa bersistem untuk bertahan hidup di kota yang abstrak ini.


Bahwa kita tinggal di Jakarta yang penuh derita,
dan di antara derita yang kian mendera itulah kita akan menemukan cinta.

Cinta tak bersyarat tenangnya kota, cinta tak bersyarat sudah tinggal di Jakarta berapa lama, cinta tak bersyarat yang akan membawa kita kuat menghadapi tragisnya kota ini.

Cinta tulus yang berlabuh di Jakarta kita, pun berasal dari kejamnya kota ini.


Jakarta menyediakan semuanya. Tinggal cara pandang Anda yang menyatakan Jakarta itu apa.

Karena,
terlepas dari semua tentang Jakarta yang saya keluhkan,
terlepas dari negatifnya Jakarta yang terus jadi cemoohan,
dan
sejauh apapun saya bertualang di negeri lain tuan,
tidak ada selain di sini, saya pertama mengerti sejatinya kasih sayang:
maka
ke Jakarta-lah, saya akan selalu pulang.

Comments

Popular posts from this blog

BINTAMA 2016: Enam Hari di Kesatrian Gatot Subroto