Posts

Showing posts from August, 2016

Malam. Paham.

Setakut-takutnya aku yang bisa berpikir kalau hujan bisa menenggelamkan dunia.. aku suka sekali. Mungkin jatuhnya titik air membersikan penatku yang sekarang jernih. Barisnya semut saja jadi kontemplasiku yang panjang. Ah. Seberapa banyak Tuhan menciptakan pelajaran di setiap inci semesta-Nya? Lalu aku mulai paham, kalau mencitai dan mencintai Tuhan harus dimulai dengan memaknai segala yang diciptakan-Nya.

Penaku dan Pukul Dua

Sepi begini. Favoritku. Malam dan semua diam. Bahkan penaku menggores kata dengan hening yang dalam. Tenang, bersahaja. Waktu mau mengusik pun tak tega. Saat tidak ada orang lain yang membutuhkanmu, maka kamu akhirnya bisa membutuhkan diri sendiri. Menampar dan memaki, mencaci dan menyuci segala yang kita tahu harus dibenahi. Percaya tak percaya- penaku barusan saja mencipta kata sendiri. Pukul 02.00 pagi Aku butuh malam mengulang senyapnya sekali lagi. Cisarua 7 Agustus 2016

Untuk Apa

Fakta bahwa kamu dan aku itu siapa memang tak bisa dibantah. Tapi, kamu dan aku itu siapa yang bagaimana; sepenuhnya milik kita kalau-kalau ingin mengubah. Mungkin, pertanyaan pertama dalam hidup yang harus dijawab adalah untuk apa. Untuk apa pena ini menggores kata? dan untuk apa puisi ini tercipta? Sekadar rasa yang ingin. Atau mungkin sesimpel malam yang dingin. Menusuk; memaksaku mencari tahu rahasia yang mengintip di balik tebaran bintang terang di langit Cisarua. Aku hanya seorang anak yang penasaran. Nyaris 2 windu melenggang mencicip kehidupan- tapi belum jua pasti tujuan. Masa hanya diam? Menunggu malam menggenapkan kelam?   Toh... apa salahnya? Berdiam dan semata merenungkan hal yang lewat di kepala.  Kamu dan aku layaknya kembang api. Terbakar, meledak sekali, lalu mati.   Bahkan laut pun tak akan bergeming berduka   begitupun awan yang sudah terlalu sibuk untuk bertanya. Namun, ledakan itu pendar sejati eksisten...

Hidup

Keputusan tak selamanya menyenangkan. Bagi saya ya, dan bagi kamu tidak. dan bagi dia, "mungkin" bukan jawaban yang salah. Saya belajar untuk belajar, kalau warna-warna yang mengisi semesta ini tidak sekadar hitam putih. Gradasi abu-abu sampai pelangi harus dimaklumi. Memeluk, tertawa melihat yang lain mengusap air mata saling menepuk pundak; berusaha memberi dukungan juga belum tentu sang penepuk adalah manusia sempurna tanpa rasa kekalahan. Dan di sana ada jiwa-jiwa dewasa yang paham betul; butuh lebih dari sekedar waktu dan tepukan pundak untuk memulihkan sakit hati. Membiarkannya diam, dan merenung, bahwa hidup takkan merubah ketentuannya. Tapi kita selalu diberi pilihan untuk bekerja sama atau menolak seirama.